PENGERTIAN SUNAH
Pengertian
Sunnah dalam Islam
– Mandûb secara etimologis
berasal dari lafadz an-nadb yang berarti ad-du’â’ ilâ amr muhimm (ajakan pada
urusan yang penting). Menurut istilah syara’, mandûb adalah apa yang dituntut
oleh pembuat syariat untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tidak tegas. Ada
yang mengatakan, apa yang pelakunya akan diganjar jika melakukan, dan tidak
akan disiksa jika meninggalkannya. Dalam kasus ini bisa dicontohkan dengan
hadits Nabi saw.:
«
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لأَمَرْتُهُمْ
بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلاَةٍ »
Jika seandainya saya tidak akan
memberatkan ummatku, niscaya akan saya perintahkan mereka untuk bersiwak (gosok
gigi) (HR. Bukhâri dari Abû Hurayrah)
Pernyataan
Nabi saw. yang menyatakan: Lawlâ an asyuqqa ‘alâ (jika seandainya saya tidak
akan memberatkan) merupakan indikator (qarînah) yang menunjukkan bahwa hukum
syiwâk (gosok gigi) ketika akan melakukan shalat adalah sunnah (mandûb). Sebab,
jika wajib, Rasulullah tidak akan mengatakan: Lawlâ an asyuqqa ‘alâ (jika
seandainya saya tidak akan memberatkan), karena berat atau tidak harus
dilaksanakan. Bandingkan dengan firman Allah ketika mewajibkan perang:
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالاً وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ
وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Berangkatlah
kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah
dengan harta dan dirimu di jalan Allah. (QS. at-Taubah [9]: 41)
Frasa: Infirû
khifâfa wa tsiqâla (berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun
berat) adalah indikator, bahwa perintah tersebut hukumnya wajib.
Mandûb
kadangkala disebut Nâfilah, seperti shalat tahajud sebagaimana yang dinyatakan
dalam al-Qur’an surat al-Isrâ’ [17]: 79.
Kadangkala
disebut Sunnah, seperti sunnah shalat Subuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya’.
Sunnah ini kadang-kadang bersifat Muakkad (yang dikuatkan), seperti sunnah
shalat Subuh dan Id, baik Idul Fitri maupun Adhha.
Ada yang
tidak Muakkad, seperti sunnah shalat Ashar. Kadangkala disebut Mustahabb (yang
disukai) dan kadangkala Tathawwu’. Disebut Mandûb karena pembuat syariat telah
menyeru orang-orang mukallaf untuk mengerjakannya, dan disebut Nâfilah karena
aktivitas tersebut merupakan tambahan dari fardhu atau kewajiban yang
dibebankan kepada ummat.
Sementara
dikatakan Mustahabb karena pembuat syariat menyukai dan mengutamakannya. Adapun
dikatakan Tathawwu’ adalah karena pelakunya melakukannya sebagai tabarru’
(aktivitas suka rela), tanpa paksaan. Namun, keempat-empatnya sama.[19]
Hukum ini
memang jika dikerjakan, pelakunya akan mendapatkan pahala, dan jika
ditinggalkan tidak mendapat apa-apa, namun adakalanya tidak baik jika
ditinggalkan oleh ummat, seperti sunnah menikah. Karena jika ditinggalkan,
ummat akan mengalami degenerasi, alias tidak mempunyai penerus.
Komentar
Posting Komentar